(Surya
Mahardika)
Perempuan
berpeluang untuk menduduki jabatan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta
(DIY). Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan gugatan soal syarat
pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang
tercantum dalam Pasal 18 ayat (1) huruf m UU 13/2012 tentang Keistimewaan DIY,
seperti dikutip dari news.detik.com.
Dikutip dari
buku Jogja Memang Isitmewa 2017 karangan Bambang Yudhoyono, ”Undang-Undang
No. 13 Tahun 2012 Pasal 18 ayat (1) huruf menyatakan bahwa calon Gubernur dan
Wakil Gubernur adalah warga negara Republik Indonesia yang harus memenuhi
syarat “menyerahkan daftar riwayat hidup yang memuat antara lain riwayat
pendidikan, pekerjaan, saudara kandung, istri, dan anak’. Oleh karena
tidak disertai dengan penjelasan, ketentuan ini dapat menimbulkan tafsir yang
berbeda-beda. Sumber perbedaan tafsir terletak pada dicantumkannya kata istri
tanpa ada kata suami.
Tafsir 1; calon
Gubernur dan Wakil Gubernur DIY dinyatakan memenuhi syarat jika antara lain
telah menyerahkan daftar riwayat hidup beserta kelengkapannya. Jadi hanya pada
ketentuan persyaratan administrasinya dan tidak termasuk atau bukan mengenai
ketentuan persyaratan sesuai isi daftar riwayat hidupnya. Artinya; istilah
“antara lain” memberi toleransi si calon menyampaikan data “suami” dalam
riwayat hidupnya.
Tafsir 2;
terkait dengan ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c, calon tersebut adalah
“Sultan” Hamengku Buwono yang bertahta dan Adipati Paku Alam yang bertahta.
Menurut tafsir kedua ini, istilah dan sebutan gelas “Sultan” (pengaruh agama
Islam) potensial menjadi bahan perdebatan untuk calon Gubernur DIY apakah harus
laki laki atau boleh perempuan.
Tafsir 3;
terkait dengan tafsir kedua, dari ketentuan ayat (1) huruf m, isi daftar
riwayat hidup yang harus diserahkan telah memastikan bahwa calon Gubernur dan
Wakil Gubernur DIY hanya dapat diisi oleh laki-laki. Dari bunyi ketentuan itu
kata ISTRI jelas mengandung arti dan makna bahwa Sultan Hamengku Buwono yang
bertahta sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai
calon Wakil Gubernur adalah laki-laki. Sebab, jika perempuan ditempatkan
memiliki hak yang sama dengan lak-laki sebagai calon Gubernur dan/atau Wakil
Gubernur DIY, maka bunyi isi persyaratan itu tentu akan memuat kata “SUAMI”.
Secara
konstitusional, tidak ada satu pasalpun dalam UUD 1945 dan juga Undang-Undang
No. 13 Tahun 2012 yang melarang perempuan untuk menduduki jabatan Gubernur
dan/atau Wakil Gubernur. Meskipun demikian, mengingat syaratnya adalah Sultan
Hamengku Buwono dan/atau Adipati Paku Alam yang bertahta maka sangat tergantung
pada pranata (paugeran) atau ketentuan yang berlaku di lingkungan internal
kasultanan dan kadipaten itu sendiri”.
Kalau menurut
saya sendiri, itu tidak sesuai tradisi. Karena seharusnya penerus Sultan itu
harus laki-laki dan saat ini kan anaknya perempuan, harusnya pindah ke adiknya
yang laki-laki itu menurut tradisi. Jadi saya sedikit bingung” ucap Rahmadi
masyarat Yogyakarta.
Menurut Ghifari
Yuristiadhi, Dosen Sekolah Vokasi di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta (UGM) terkait
kebijakan kesultanan ini. “Jika menilik sejarah Kraton Yogyakarta bahkan
Kesultanan Mataram, jika raja tidak punya anak laki-laki atau tidak ada anak
laki-laki yang pantas menduduki tahta, tahta akan diserahkan kepada saudara
laki-lakinya. Langkah Sultan mengganti nama gelar putri pertamanya “Pembayun”
menjadi “Mangkubumi” tentu punya tendensi politik. Sependek pengetahuan saya
belum ada putri yang dipersiapkan untuk mewarisi tahta di Kasultanan Yogyakarta
bahkan harus dirubah gelar kebangsawanannya menjadi lebih “maskulin” dari pada
Sultan X ini. Pendapat saya, ini hak sepenuhnya Sultan, Jika memang kejadian
Sultan pengganti Sultan X adalah putri beliau, sejarah akan mencatat dan
masyarakat di kemudian hari akan membaca tentang intrik dan dinamika suksesi
Kraton yang demikian ini”.
Semoga Daerah
Istimewa Yogyakarta tetap istimewa dan lestari di tangan siapapun yang
memimpinnya.

Komentar
Posting Komentar