![]() |
| Poster perlawanan di Temon Kulonprogo. (Photo: Surya) |
Ibu, ada orang berpakain hitam dan berbadan besar di luar rumah. Katanya ingin bertemu bapak dan ibu”, teriakku dibalik pintu sambil memegang sapu. Ouhh.. paling itu intel nduk ingin berbicara lagi bersama ibu agar menyerahkan tanah dan rumah demi pembangunan bandara besar kepada mereka. Tidak akan pernah ibu dan bapakmu ini rela menyerahkannya walaupun akan diganti dengan harga yang tinggi nduk”, jawab ibuku dengan teguhya.
Nduk tolong
sediakan minuman kepada tamu kita ini”, ucap bapak sambil berbicara dengan
intel itu. Pak apa kabar ? bagaimana keadaan rumah dan tanah bapak, apakah
masih tetap aman ?. Sebaiknya bapak langsung saja menyerahkan tanah dan rumah
ini kepada pihak kami, agar bandara ini cepat terbangun dan menguntungkan
banyak orang. Akan kami ganti dan kami pindahkan bapak sekeluarga ke tempat
yang lebih layak. “Tidak akan pernah kami relakan sejengkal pun tanah kelahiran
dan rumah yang kami bikin dengan sekuat tenaga kami hanya untuk pembangunan
bandara yang merusak kehidupan warga ini”, ucap bapak dengan lantangnya
dihadapan tamu yang sedang merayunya.
Aku pun hanya bisa
terdiam dan memahami keadaan tanahku. Tanah yang dulunya adalah tempat
bermainku bersama teman sebayaku sekarang sudah merata dan siap dibangun pasak
pasak besar yang menancap tanah subur ini.
Berikut adalah
sekian cerita dibalik warga yang memperjuangkan hak kehidupanya dan menolak
berdirinya bandara New Yogyakarta International Airport oleh PT. Angkasa Pura I
di Dusun Glagah dan Palihan Kecamatan Temon Kulon Progo Yogyakarta.
Dengan adanya
Ombudsman Republik Indonesia mereka bisa bertahan dan menjaga rumah kesayangan
walaupun hanya beberapa yang masih bisa bertahan di lingkungan tersebut. Ibu
Porinah salah satunya. Warga RT… RW.. Dusun… bersama suami dan satu anak
kecilnya tetap ingin bertahan dan menjaga rumah itu walaupun sudah tidak ada
lagi listrik dan tetangga di sekitarnya. Pencopotan listrik disetiap rumah
rumah warga telah dilakukan pada Senin (27/11) minggu lalu.
Adapun Ibu
Porinah menceritakan kepada kami kenapa beliau tetap menjaga tanah dan rumahnya
dikarenakan ia sudah hidup lama di rumah itu bersama para keluarganya. “Saya
bikin rumah ini kan dari nol dari dari jerih payah saya sendiri, walaupun saya
tidak punya tetangga saya akan tetap bertahan dan sampai kapan pun saya tidak
pernah rela bandara ini dibangun, ucap Ibu Porinah.
Ia membangun
rumah itu dengan hasil keringatnya bersama suaminya yang berkerja di tambak
udang. Ibu Porinah bergantung hidup dengan tambak udang dan hasil tanam sayur
sayuran yang ia miliki di perkebunannya yang tidak jauh dari rumahnya. Bukan
hanya Ibu Porinah, melainkan semua warga juga bercocok tanam dan menggantungkan
kehidupanya dengan bertani. Lahan yang dibangun untuk bandara New Yogyakarta
International Airport (NYIA) itu sendiri adalah lahan yang subur, perkampungan
yang padat dan memilki pasokan air yang banyak. Para petani bercocok tanam
dengan berbagai macam sayuran seperti cabai, melon, semangka, padi dan berbagai
macam sayuran lainnya.
Jika mulai musim panen bisa 2000
pohon cabai yang siap dijual”, ucap suami ibu Porinah
Tanah disini
merupakan desa resapan air yang jarang terkena banjir. Disini merupakan lahan
pertanian yang sangat ramai. Masih banyak Kepala Keluarga yang bertahan di
daerah sini sekiran 40 KK yang tersebar di beberapa dusun.
Hubungan
bersama keluarga walaupun tetangga sekitar sudah sangat longgar. Karena telah
banyak diantara mereka yang mendukung pihak bandara dan sebelumnya banyak sekali
yang menolak pembangunan bandara bersama Aliansi Wahan Tri Tunggal (WTT).
Banyak rumah yang dirobohkan tapi belum dibayar ganti ruginya. Banyak tanah
atau rumah warga yang diapresial akan tetapi belum juga dibayar oleh pihak
Angkasa.
Saya juga
sering didatangin oleh intel intel. Mereka membujuk saya untuk menyerahkan
milik saya karena sudah batas terakhir menempati”, ucap Ibu Porinah.
Kuburan yang
ada disekitar daerah itu akan dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Akan
tetapi ada beberapa kuburan yang pihaknya tidak ingin dipindah. Ibu Porinah
sendiri memiliki anak yang sudah meninggal dan dikuburkan di daerah yang akan
dipindahkan. Akan tetapi beliau menolak untuk dipindahkan.
Banyak janji
yang diberikan kepada pihak yang menyerahkan tanahnya. Seperti akan diberikan
sekolah gratis dan relevasi gratis dengan tanah 850 permeter tapi hanya hak
pakai bukan selamanya.
Warga
mengungkapkan bandara masih membutuhkan sekitar 2000 hektar untuk memperluas
bangunan bandara dan akan banyak lagi warga yang akan berpindah dari tanahnya.Sekolah
dasar dititipkan dirumah warga yang mengontrak dan belum diganti dengan sekolah
yang baru sampai saat ini.
Saya benar benar berterima kasih kepada para
mahasiswa ataupun orang luar yang masih peduli dan membantu warga disini bersama
menolak pembangunan bandara. Mereka selalu memberi semangat kepada kami untuk
mempertahankan dan meneruskan perjuanganya tanah ini hingga titik akhir”, tutup
Ibu Porinah diakhir ceritanya.
Kulonprogo, 4 Desember 2017
Bersama Dany



Komentar
Posting Komentar