Islam
datang sebagai obat dari luka luka kebodahan umat di zamannya. Masa terang
dengan ilmu pengetahuan dan wahyu adalah sebaik baik masa yang telah
menghantarkan manusia dari sisi gelap akan ketidak adanya ketuhanan dalam jiwa
mereka. Maka segala aspek kehidupan telah diterangi oleh Islam sampai ke akar
akarnya. Tidak ada sedikitpun permasalahan sosial maupun individu yang lepas
dari ajaran Islam. Semuanya telah terangkum di Al quran dan Al Hadits.
Kehidupan
sosial yang dinamis menjadikan kehidupan mereka akan kehilangan arah tujuan
jika tidak berdasarkan terhadap ajaran agama dan ideologi masyarakat itu
tersendiri. Masyarakat berubah seiring berkembangnya zaman. Mereka beradaptasi
dengan keadaanya yang memaksa mereka tuk menjadi seperti apa yang diinginkan
oleh penguasa atau lingkup sosial lainya.
Dalam
berkehidupan masyarakat sebelum klasik, kebiasaan dan keseharian masyarakat
hanya bergantung kepada suku atau kabilah saja. Mereka sangat memandang
perbedaan ideologi, kabilah dan tingkat prestasi kaum. Semakin rendah prestasi
hidupnya maka semakin rendah juga ia dimata orang. Para kepala kaum sangat
mudah merubah pola pikir pengikutnya untuk selalu taat kepadanya dengan
berbagai cara. Apalagi kepercayaan mereka terhadap patung patung yang sangat
kuat dapat dengan mudah menjadi alat kezhaliman. Fenomena ini tidak berlaku
terhadap Islam. Sejak kehadirannya, agama ini telah membawa transformasi
radikal kehiupan individual dan sosial. Islam telah merombak secara total
perilaku keseharian dan kebiasaan yang berakar dalam, sebagaimana juga merombak
standar-standar, penilaian, dan cara pandang seseorang terhadap alam, hidup,
dan manusia itu sendiri.
Perubahan
yang dibawa Islam kepada setiap elemen masyarakat sangat mendasar dan komprehensif.
Dari mulai perubahan akidah terhadap patung patung maupun binatang hingga
menuju pengahambaan sejati kepada Allah Yang Maha Esa. Dalam perubahan perilaku
seseorang, Islam juga menghadirkan perubahan yang sangat baik dan dispilin.
Dengan dibatasi dan diatur oleh hukum syariat menjadikan setiap umat
terdisiplinkan dan memberi warna dalam segala aspek kehidupannya. Dalam
perilaku moral, dan kebiasaan, tidur, dan bangun, makan dan minum, kawin dan
cerai, jual beli, dan tatanan kehidupan sosial dalam masyarakat umumnya.
Begitu
juga Islam datang dengan cepat membawa perubahan dalam kontruksi masyarakat
yang berkelompok. Islam menjadikan ikatan iman sebagai dasar paling kuat yang
dapat mengikat masyarakat dalam keharmonisan, dan tetap membolehkan, bahkan
mendorong bentuk bentuk ikatan lain seperti kekeluargaan nasab asalakn tidak
bertentangan dengan prinsip agama. Maka Islam telah mengatur segala tatanan
kehidupan kita dalam berbangsa dan bernegara agar tercapainya tujuan bersama
yaitu kebahagian dunia dan akhirat.
Islam Sebagai
Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara
Sebagaimana
yang telah diterangkan pada pendahuluan, bahwa Islam telah mengatur seluruh
tatanan kehidupan individual dan sosial manusia di dalam Al quran dan hadits.
Dalam kehidupan berkelompok layaknya manusia sebagai makhluk sosial maka
perlunya aturan yang dapat mengatur hubungan mereka agar terciptanya hubungan
yang damai dan tidak saling merugikan antar pihak. Keadilan dan kebahagian
menjadi dasar terciptanya aturan hukum yang telah dibuat oleh Allah
Subhannallahu Wa Ta’ala. Karena Allah tau apa yang baik dan benar bagi
hambanya.
Ayat berabangsa
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ
ذَكَرٍ وَأُنْثى وَجَعَلْناكُمْ شُعُوباً وَقَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia,
sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Qs. al-Hujurat: 13
Kehidupan Bersmasyarakat
Ibnu
Taimiyah mengajukan teori sebagai berikut: “Kesejahteraan umat manusia tidak
dapat diwujudkan di dunia maupun di akhirat, kecuali mereka bergabung menjadi
sebuah masyarakat, bekerja sama dan saling tolong menolong. Kerja sama dan
tolong menolong tersebut perlu untuk
menciptakan kesejahteraan dan mencegah kesengsaraan. Karena alasan inilah,
dikatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial. Apabila umat
manusia telah diorganisasikan , sudah pasti banyak hal hal yang harus mereka
lakukan untuk mewujudkan kesejahteraan mereka dan banyak pula hal hal yang
tidak boleh mereka lakukan karena akibatnya sangat buruk. Mereka harus mematuhi
pemimpin yang menjunjung tinggi cita cita tersebut. Jadi, seluruh umat manusia
harus tunduk kepada para pemimpin atau orang orang yang mencegah kejahatan.
Masyarakat dengan peimpinan seorang penguasa yang diati itulah yang disebut
negara.[1]
Piagam Madinah Sebagai Konsep Negara Ideal Menurut Islam
Dalam
sejarah Islam, pernah ada sebuah konstitusi atau perjanjian yang sangat
bersejarah. Perjanjian ini adalah prinsip prinsip yang telah dibuat oleh
Rasulullah dan para sahabat dan juga para masyarakat Madinah guna menciptakan
sebuah tatanan masyakat yang ideal dan mempunyai tujuan bersama demi
mewujudkannya sebuah keadilan bagi seluruh rakyat di daerah Madinah. Perjanjian
itu bernama “Piagama Madinah”.
Kehidupan Madinah Sebelum Hijrah
Yatsrib
merupakan nama lama Madinah Al-Munawwarah. Sumber ketenangan dengan tanah yang
subuh dan air yang melimpah. Ia dikelilingi oleh bebatuan gunung yang hitam dan
lembah yang terbentang luas.
Masyarakat
Madinah sebelum kehadiran arab, didominasi oleh Yahudi, baik secara ekonomi,
politik maupun intelektual. Yahudi meninggalkan pengaruh kuat di Madinah dan
pada saat yang sama mereka sangat dipengaruhi oleh suku suku Arab di sekeliling
Yatsrib. Mereka jago dalam hal pertanian yang sanagt berpengaruh terhadapat
perkembangan tanaman kelapa sawit, anggur, delima dan sejumlah tanaman yang
menghasilkan biji bijian. Demikian juga unggas.[2]
Solidaritas
kesukuan sangat terlihat di kalangan Yahudi dan Arab di Yastrib. Fanatisme,
kedermawanan, kesenangan terhadap puisi dan latihan memakai senjata sudah ada
sejak lama disana. Perselisihan juga sangat kuat diantar kabilah yang sering
menimbulkan pertumpahan darah diantar mereka sehingga keadaan di Yatsrib sangat
tidak terkontrol.
Awal Hijrah dan Piagam Madinah
Selama kurang lebih 13 tahun di Mekah, Nabi Muhammad dan umat Islam
belum mempunyai kekuatan dan kesatuan politik yang menguasai suatu wilayah. Umat
Islam menjadi satu komunitas yang bebas dan merdeka setelah pada tahun 622 M
hijrah ke Madinah yang sebelumnya disebut Yatsrib. Itulah permulaan hijrah Nabi
Muhammadi SAW dan para sahabat (Muhajirin) ke Madinah yang telah Allah tetapkan
tempatnya. Sebagaiman Nabi Muhammad bersabda:
Tempat hijrah kalian sudah
diperlihatkan kepadaku. Aku telah melihat tanah bergaram dan ditumbuhi pohon
pohon kurma berada di antara gunung yang berupa dua Harrah. (HR.
Bukhari dan Muslim)
Muhajirin
datang ke kota Madinah yang pada masa pra Islam disebut Yatsrib. Kegiatan
hijrah terus berlangsung dan menjadi suatu kewajiban bagi setiap muslimin di
seluruh bagian jazirah untuk bermigrasi ke Madinah. Hijrah merupakan bukti
ketulusan dan dedikasi kepada keimana dan akidah. Para muhajirin meninggalkan
tanah kelahiran, harta kekayaan dan keluarga demi memenuhi panggilan Allah SWT.
Kemulian orang berhijrah sangat Allah muliakan di dalam firmannya:
Dan, orang orang yang berhijrah di jalan Allah, kemudian mereka
dibunuh dan mati, benar benar Allah akan memberikan kepada mereka rezeki yang
baik (surga)….(Al Hajj: 58)
Keberlangsungan
hijrah telah menciptakan keberagaman penduduk Madinah. Mereka tidak lagi
terdiri atas suku Aus, Khazraj dan Yahudi saja. Muhajirin Quraisy dan suku suku
Arab lain datang dan hidup bersama mereka.
Struktur
masyarakat Madinah baru dibangun atas fondasi ikatan iman dan akidah yang tentu
lebih tinggi dari solidaritas kesukuan dan afiliansi lainnya. Maka masyarakat
Madinah yang majemuk pun sudah mulai bergaul sesama kabilah dan berkurangnya
perseteruan antar kaum. Semenjak datangnya Nabi Muhammad dan para muhajirin.
Tentu semua itu telah melewati berbagai macam proses aturan tatanan kehidupan
bermasyarakat Madinah dan berbagai persoalan ekonomi maupun sosial. Maka mereka
membutuhkan suatu kesepakatan atau aturan undang undang berkehidupan sosial
oleh sang pemimpin Nabi Muhammad di Madinah. Maka dibuatlah Piagam Madinah
sebagai konsep menuju masyarakat yang adil dan makmur.
Piagam Madinah
Setelah beberapa lama bermukim dan berbaur dengan masyarakat
Madinah. Rasulullah melihat perlunya suatu piagam politik untuk mengatur
kehidupan bersama. Ia memandang perlu meletakkan aturan pokok tata kehidupan
bersama di Madinah agar terbentuk kesatuan hidup di antara seluruh penduduknya.
Dalam piagam itu dirumuskan prinsip-prinsip dan dasar-dasar tata kehidupan
bermasyarakat, kelompok kelompok sosial Madinah, jaminan hak, dan ketetapan
kewajiban. Piagam Madinah itu juga mengandung prinsip kebebasan beragama, hubungan
antar kelompok, kewajiban mempertahankan kesatuan hidup, dan sebagainya.
Insiatif dan usaha Muhammad dalam mengorganisir dan mempersatukan pengikutnya
dan golongan lain, menjadi suatu masyarakat yang teratur, berdiri sendiri, dan berdaulat
yang akhirnya menjadi suatu negara di bawah pimpinan Nabi sendiri merupakan
praktek siyasah, yakni proses dan tujuan untuk mencapai tujuan.
Perjanjian
itu menurut para ilmuwan dan pakar politik merupakan perjanjian dan konsep
negara Islam pertama yang sangat relevan dan sesuai demi mencapai tujuan
bersama dari kehidupan manusia. Piagam Madinah menurut sebagian ilmuwan sangat
menarik dibahas, karena di antara ketetapan di dalamnya tidak ada yang menyebut
tentang bentuk pemerintahan, struktur kekuasaan, perangkat pemerintah
sebagaimana lazimnya sebuah konstitusi.[3]
Dalam
dokumen tersebut juga menjelaskan bahwa Islam tidak mengakui perbedaan di
kalangan manusia atas dasar warna, ras, ataupun asal usul. Tidak ada yang lebih
baik dari yang lain kecuali dalam ketaqwaanya kepada Allah. Masyarakat muslim
merupakan masyarakat yang terbuka, kesempatan untuk berkembang dan meraih
kehidupan yang layak terbuka sama untuk semua anggotanya.
Konsep Negara dalam Piagam Madinah
Terdapat banyak
ulasan penting menurut para ulama dan cendikiawan politik terkait Piagam
Madinah yang berisi 47 pasal.
Hasan Ibrahim
Hasan, bahwa Piagam Madinah secara resmi menandakan berdirinya suatu negara,
yang isinya bisa disimpulkan menjadi 4 pokok:
(1) Mempersatukan segenap kaum muslimin dari
berbagai suku menjadi satu ikatan.
(2) Menghidupkan semangat gotong royong, hidup
berdampingan, saling menjamin di antara sesama warga.
(3) Menetapkan
bahwa setiap warga masyarakat mempunyai kewajiban memanggul senjata,
mempertahankan keamanan dan melindungi Madinah dari serbuan luar.
(4) Menjamin
persamaan dan kebebasan bagi kaum Yahudi dan pemeluk-pemeluk agama lain dalam
mengurus kepentingan mereka.
Konsep Ummah dan Pengertian pada
pasal 1 di Piagam Madinah
انهم امة واحدة من دون الناس
Sesungguhnya mereka satu umat, lain
dari (komunitas) manusia lain.
Umat ialah kumpulan orang yang semua individunya sepakat dalam tujuan
yang sama dan masing-masing membantu agar bergerak ke arah tujuan yang
diharapkan atas dasar kepemimpinan yang sama.[4]
Dari rumusan
Syari’ati itu terlihat bahwa istilah ummah mengandung arti dinamis,
bergerak, dan berhijrah menuju tujuan yang jelas di bawah satu kepemimpinan dan
petunjuk arah tujuannya, yaitu akidah. Perkataan ummah adalah istilah baru
dalam politik yang menunjukan adanya warga dari negara yang baru didirikan.[5]
Sampai awal pasal ini, dapat dilihat bahwa Rasulullah menyeru
seluruh umat di Madinah agar dapat mentaati perjanjian yang telah ditetapkan
agar tercapainya tujuan bersama. Keadilan dan Kebahagian.
Dalil Terkait Dasar Kehidupan
Bernegara dalam Islam
Dalil tentang mentaati aturan Allah
dan Rasulnnya dan mentaati ulil amri.
Artinya: Wahai orang
orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri di
antara kamu. Kemudia jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
kembalikanlah ia kepada Allah (Al quran) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar
benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama
(bagimu) dan lebih baik akibatnya.(QR: An Nisa 59)
Dalam konsep bernegara di ajaran islam, Rasulullah sebagai kepala
negara Islam pertama, yang diikuti oleh para Khulafaur Rasyidin. Senantiasa
dinyatakan bahwa ketaatan kepada Allah dan Rasulnya merupakan syarakt mutlak
ketaatan warga negara terhadap pemerintah. Jika pemerintah menyimpang dari
jalannya, maka rakyat wajib meluruskannya. Apabila kesalahan itu terus
dilakukan oleh pemerintah maka warga negara dilarang mematuhi setiap
kebijaksanannya atau perundang undangan yang menyimpang tersebut. Itu semua
merupakan prinsip pertama dalam bernegara. Mentaati apa yang telah ditetapkan
Allah dan Rasullnya dan juga para ulil amri.
Dasar Kehidupan Sosial
Islam membangun masyarakat Madinah atas dasar cinta dan saling
menolong. Merupakan sebuah kewajiban bagi seorang muslim untuk membantu sesama
manusia dalam kebaikan.Saling mencintai dalam kebaiakan juga merupakan
kewajiban bagi sesama mau’min. Karena Allah akan membalas kebaikannya itu
berlipat ganda. Dan dalam hadits disebutkan:
عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَيُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى
يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ.
(رواه البخارى ومسلم وأحمد والنسائى)
Anas ra. berkata, bahwa Nabi saw.
bersabda, “Tidaklah termasuk beriman seseorang di antara kami sehingga mencintai
saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari, Muslim,
Ahmad, dan Nasa’i)
Telah
menceritakan kepada kami Sulaiman bin Harb berkata, telah menceritakan kepada
kami Syu'bah dari Washil Al Ahdab dari Al Ma'rur bin Suwaid berkata: Aku
bertemu Abu Dzar di Rabdzah yang saat itu mengenakan pakaian dua lapis, begitu
juga anaknya, maka aku tanyakan kepadanya tentang itu, maka dia menjawab: Aku
telah menghina seseorang dengan cara menghina ibunya, maka Nabi shallallahu
'alaihi wasallam menegurku: "Wahai Abu Dzar apakah kamu menghina ibunya?
Sesungguhnya kamu masih memiliki (sifat) jahiliyyah. Saudara-saudara kalian
adalah tanggungan kalian, Allah telah menjadikan mereka di bawah tangan kalian.
Maka siapa yang saudaranya berada di bawah tangannya (tanggungannya) maka jika
dia makan berilah makanan seperti yang dia makan, bila dia berpakaian berilah
seperti yang dia pakai, janganlah kalian membebani mereka sesuatu yang di luar
batas kemampuan mereka. Jika kalian membebani mereka, maka bantulah
mereka". (HR Bukhari)
Saling menjaga hubungan bertetangga dan negara
Dalam pasal di
Piagam Madinah juga terdapat aturan terkait menjaga perdamaian antar negara
ataupun tetangga. Pada bab VII pasal 40, dirumuskan sebagai berikut: Segala
tetangga yang berdampingan rumah, harus diberlakukan sebagai diri sendiri,
tidak boleh diganggu ketentramannya, dan tidak diperlakukan salah. Rasulullah
bersabda:
Artinya: Demi Allah,
dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, mereka tidak
beriman! Ditanya:Siapakah dia ya Rasulullah ? Beliau menjawab: “ Siapa yang
tetangganya tidak aman dari gangguan gangguannya.”
Keadilan dan Persamaan Hukum
Salah
satu esensi persamaan dalam hukum ialah sikap adil di dalam menerapkan
ketentuan ketentuan hukum bagi semua warga negara, tanpa mengenal diskriminasi
apa pun: apakah ia seorang rakyat jelata atau penguasa, apakah ia seorang kafir
atau hartawan, apakah ia seorang bangsawan atau rakyat biasa. Ketentuan
mengenai sikap adil ini telah diatur oleh Allah dalam firmanNya:
Artinya: “Hai orang orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan
janganlah sekali kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk
tidak berlaku adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat dengan takwa.
Dan bertakwalah kamu kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan.” (Q.S AL Maidah: 8)
Rasulullah juga bersabda terkait keadilan
Artinya: Sebenarnya
apa yang menyebabkan rusaknya orang orang sebelum kamu itu ialah karena mereka
iu, kalau ada di kalangan mereka itu seorang yang mulia (penguasa atau
pengusaha) mencuri, mereka biarkan saja. Tetapi kalau yang mencuri itu seorang
yang lemah (rakyat kecil), mereka melakasanakan hukum itu sebagaimana mestinya.
Demi Allah, andaikata Fatimah binti Muhammad mencuri, pasti akan kupotong
tangannya. (HR. Bukhari dan Muslim dan Empat As Habun Sunan)
Piagam Madinah telah mempersatukan warga Madinah yang heterogen itu
menjadi satu kesatuan masyarakat dalam pemenuhan hak dan penunaian kewajiban,
saling menghormati terhadap suku dan agama. Piagam tersebut dianggap merupakan
suatu pandangan jauh ke depan dan suatu kebijaksanaan politik yang luar biasa
dari Nabi Muhammad dalam mengantisipasi masyarakat yang beraneka ragam backgroundnya,
dengan membentuk komunitas baru yang disebut ummah.
[1]
Qamarudin Khan, Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah, 1983, Bandung: Pustaka,
hlm. 58-59.
[2]
Umari Dhiyauddin, 1999: Masyarakat Madani, Jakarta: Gema Insani Press. Hlm 65
[3] J.
Suyuthi Pulungan, Prinsip-Prinsip Pemerintahan dalam Piagam Madinah Ditinjau
dari Pandangan al-Qur’an, (Jakarta: Rajawali Pers,
1996), hlm. 8.
[4]
Ali Syari’ati, Ummah wa al-Umamah, terj. M. Faishol Hasanuddin, (Jakarta:
Penerbit
Yapi, 1990), hlm. 38.
[5]
Umari Dhiyauddin, 1999: Masyarakat Madani, Jakarta: Gema Insani Press. Hlm 37.

Komentar
Posting Komentar